Rabu, 26 Oktober 2011

"Menghakimi" , kecenderungan yang bermuatan dosa


Berhentilah memakai kayu pengukur ke atas orang lain!
Selalu akan ada satu lagi fakta yang tidak kita ketahui di dalam situasi orang itu.
( Roma 2:1-8 )


"Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. 2 Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu".
( Matius 7:1 )


Perintah Yesus dalam hal menghakimi sangatlah sederhana, Ia berkata, "Jangan menghakimi". Orang Kristen rata-rata merupakan orang-orang yang paling kritis. Mengkritik merupakan kegiatan yang lazim dilakukan oleh kebanyakan manusia namun di alam rohani, kritikan tidak akan mencapai apa-apa. Efek dari kritikan adalah terbagikan kekuatan orang yang dikritik itu.  


Roh Kudus merupakan satu-satunya pribadi yang berada di posisi untuk mengkritik dan hanya Ia saja yang dapat menunjukkan apa yang salah tanpa menyakiti dan melukai.


Akan sangat mustahil untuk bersekutu dengan Allah di saat Anda berada di dalam suasana hati yang mengkritik. Kecaman akan membuat Anda menjadi keras, dendam dan kejam; dan di saat yang bersamaan pula Anda akan mendapatkan kesan bahwa diri Anda lebih baik dari orang lain. Yesus berkata bahwa sebagai murid-Nya, Anda tidak boleh memupuk watak pengkritik dalam diri Anda. Hal ini tidak akan langsung terjadi tetapi merupakan hal yang harus terus-menerus dikerjakan. Anda harus sentiasa peka terhadap hal apa saja yang membuat Anda berpikir bahwa Anda lebih baik dari orang lain.
Saya tidak dapat luput dari penyelidikan Yesus yang menusuk.  


Jika saya melihat debu di mata orang lain, itu berarti terdapat balok di mata saya sendiri. Setiap hal yang salah yang saya lihat di diri orang lain, Tuhan menemukannya di dalam diri saya. Setiap kali saya menghakimi, saya sedang mengutuk diri saya sendiri 
( Roma 2:17-24 )


Sampai saat ini, budaya kita mengenai tepa selira, introspeksi, dan menghargai orang lain cenderung terkalahkan oleh sekedar kepuasan individu. Hal ini sama sekali tidak terlepas dari arogansi budaya yang semakin mengglobal. Keprihatinan semua orang terhadap akulturasi budaya yang melibas budaya bangsa serta melahirkan budaya-budaya baru dengan berbagai variannya, terutama mengejawantah dalam pola pikir, menjadi ketakutan yang mengendap dalam pandangan generasi di atas kita.


 Berhentilah memakai kayu pengukur ke atas orang lain. Selalu akan ada satu lagi fakta yang tidak kita ketahui di dalam situasi orang itu. Hal pertama yang Tuhan lakukan adalah membersihkan kita sepenuhnya secara rohani. Setelah itu barulah tidak mungkin lagi ada kesombongan yang tersisa di dalam kita
( Roma 2:1 )



Oleh karena merasa diri benar,.....
ketika melihat orang lain yang berbeda dengan dirinya dianggap salah. 


Jadi, tidaklah mengherankan jika ada orang yang telah bertobat tapi hidupnya tidak jadi berkat bahkan sebaliknya sering jadi sandungan dan momok yang menakutkan karena menjadikan dirinya hakim atas orang lain.
Setiap orang dikritiknya, disalahkannya, dan dianggap keliru lalu diancam dengan berkata; kalau tidak berubah…, akan dihukum/dikutuk Tuhan
Seorang yang sudah bertobat, seharusnya membawa damai, kesejukan, kekuatan, dan jadi berkat buat setiap orang. Karena itu, seorang yang sudah bertobat tapi selalu jadi sandungan buat orang lain, pasti ada sesuatu yang keliru dalam hidupnya, sebab pertobatan yang sejati pasti membuat kita dapat jadi berkat bukannya jadi momok yang menakutkan.
Ketika lihat orang bersalah kita tegur atau nasehati dengan cara yang bijak, waktu dan kata-kata yang tepat, sehingga membuat orang tersebut sadar dan mau bertobat, tapi jika dihakimi mustahil ia mau bertobat, justru sebaliknya akan melahirkan kebencian. Itulah sebabnya sebagai orang percara jangan menghakimi orang lain.

 HATI - HATI........!!!
Bila anda mengalami fase-fase ini dalam hidup anda :
Yang selalu merasa dirinya benar, sebab tindakan penghakiman selalu berawal dari hati!
Yang selalu mencari kesalahan orang, dimata kita selalu ada saja kesalahan orang lain!
Yang  selalu membicarakan kesalahan orang lain,walaupun kita belum tahu kebenarannya!


 Teladan Tuhan Yesus dalam menghadapi Penghakiman


“Kasihi musuhmu dan berikanlah juga kepadanya pipimu yang lain.” 
“Janganlah menghakimi, agar kamu tidak dihakimi” 
(Luk 6:27-38)


Kedengarannya mengagumkan untuk beberapa orang. Tapi bagi beberapa orang, hal itu kedengaran tidak masuk akal. Seorang filsafat abad 19 dari Jerman, Friedrich Nietzsche mengajarkan hal berpikir seperti ini memimpin komunitas kepada masyarakat yang benar-benar lemah. Karl Marx mengajarkan perkataan Yesus ini membantu para kapitalis menjaga si tertindas dibawah kontrol mereka. Apakah Yesus menginginkan kita menjadi keset kaki, orang tolol yang mengijinkan diri kita sendiri dimanfaatkan oleh setiap penggertak, diktator, dan gangster yang akan datang menyerang?


Mari kita lihat kehidupan Yesus dan Daud. Daud tidak membunuh Saul, yang diurapi Tuhan (1Sam 26). Tapi dia juga tidak menyerahkan dirinya sendiri. Dia menentang ketidakadilan dari Raja yang gelisah, bahkan ketika dia menghormatinya dan menolak untuk pengucapan yang menjadi kebencian. Ketika masyarakat dari Nazaret menginginkan untuk melempar Yesus dari tepi bukit yang curam, Dia menyelinap melalui kerumunan dan melarikan diri (Luk 4:29-30). Waktu-Nya belum tiba.


Ketika Henry VIII menceraikan isterinya, lalu menikah dengan yang lain, dan menyatakan dirinya sebagai kepala dari Gereja, kanselirnya Thomas More diam-diam mengundurkan diri dan melakukan apa saja yang dia bisa secara etis untuk menghindari dirinya dipenjara dan di hukum mati (tontonlah film A Man for All Seasons).Tapi ketika akhirnya kesaksian palsu mendorong kepada penghukuman dan hukuman mati bagi Tuhan Yesus dan murid abad ke 16-Nya, Thomas More, sudah waktunya untuk memberikan kesaksian kepada kebenaran dengan darah mereka. Sudah waktunya untuk memberikan pipimu yang lain.
Perhatikan sikap Tuhan kita terhadap orang yang menyiksa-Nya :
“Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk 23:34).
Dan perkataan Thomas More kepada sang algojo, memberinya sebuah tip:
“Jangan ragu untuk melakukan tugasmu, karena kamu mengirimku kepada Tuhan.”


Cinta yang baik sekali terkadang meminta kita mengatakan perkataan yang keras. 
Yesus memanggil para Farisi munafik dan mengekspos didepan umum bagaimana mereka membodohi diri mereka sendiri dan melanggar hukum Allah (Markus 7). Setelah kalimat itu dibacakan di persidangannya, Thomas More dengan lantang memproklamirkan keseisi ruang sidang yang penuh sesak, bahwa Raja tidak memiliki hak untuk menyatakan dirinya sebagai Kepala Gereja dari Inggris.
Tapi tunggu sebentar. Bukankah itu menghakimi? 
Bukankah Yesus mengatakan untuk tidak menghakimi atau mengutuk?


Bagaimana bersikap terhadap orang yang melakukan Aborsi?
Apa yang manusia bisa atau harus lakukan adalah menghakimi kedudukan pokok orang tersebut sebelum Allah, berdasarkan motivasi dari dalam hati. Orang bisa melakukan hal yang buruk sekali berdasarkan ketakutan, luka atau misinformasi. Mengingat perkataan Yesus: “mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan.” Sekalipun  apa yang mereka lakukan itu buruk sekali, namun. Hanya Tuhan yang berkompeten untuk menghakimi hati. Kita bisa dan harus menghakimi apakah tujuan kelakuan seseorang itu buruk atau baik, benar atau salah. Dan terkadang menjadi tugas kita untuk memberitahukan kepada mereka bahwa itu salah dan mengutuki hal tersebut. Aborsi adalah salah. Tapi bukan berarti wanita ini atau dokter ini jahat, terpisah dari Tuhan, dan akan pergi ke neraka. Dan bukan berarti saya lebih baik dan lebih bijak daripada wanita ini atau dokter. Yesus berkata siapa yang diberi banyak, akan dituntut lebih banyak. Mungkin wanita ini dan sang dokter pulang kerumah dari klinik aborsi telah melakukan lebih dengan apa yang telah mereka berikan daripada saya. Itu bukan tugas saya untuk mencari tahu. Itu panggilan Tuhan.


"Panggilan kita untuk mengasihi dan benar-benar peduli kepada mereka untuk berbicara tentang kebenaran kepada mereka, dan membantu mereka untuk mendapatkan dukungan yang mereka perlukan untuk hidup menurut kebenaran itu sendiri"


PENGHAKIMAN MANUSIA

Marak terjadi dijaman ini manusia menjadi "Tuhan" atas sesama lewat penghakiman yang mereka anggap benar dan layak untuk dilakukan, berhubung orang yang mereka hakimi adalah orang yang mereka anggap bersalah dan layak menerima penghukuman mereka.


Bahkan mereka tidak perduli lagi seberapa berjasanya orang tersebut sbelumnya, baik atas satu kaum, suku dan suatu bangsa. Masih hangat dalam memori kita bagaimana seorang pemimpin besar yang memimpin selama 42 tahun di Lybia harus mengakhiri masa jabatannya dengan tragis. Terlepas dari kediktaktorannya selama memimpin, ia tetap seorang manusia yang layak di hargai sebagai manusia, terlebih dalam usianya yang cukup lanjut, laak kita hargai sebagimana kita menghargai orang tua kita sendiri. Tapi apa yang ia alami terlebih hina dari pada seekor binatang. Saya menitikkan air mata saat mononton peristiwa tersebut di stasiun televisi, sambil terus berbisik "Tuhan ampunilah mereka sebab mereka tidak tau apa yang mereka perbuat". Kita mungkin bisa menaikan doa tersebut saat kejadian itu menimpa orang lain, tapi bagaimanakah bila hal itu menimpa sanak famili kita atau mungkin bahkan diri kita sendiri?


Penghakiman brutal atau yang bisa juga disebut sebagai Hukum Rimba marak terjadi disemua belahan bumi ini. Hal yang sama pun pernah terjadi atas bangsa ini, sebagai bentuk protes dan kudeta mereka atas pemerintahan Soeharto. Massa mengamuk di mana-mana, kuhsusnya di ibu kota Jakarta. Membakar ratusan toko dan fasilitas umum lainnya, merampok,memerkosa dan membunuh orang-orang yang tidak bersalah dan notabene bukan orang yang harus bertanggung jawab atas keadaan bangsa ini.


Mereka semua menjelma menjadi seperti orang terkudus dan terlayak untuk menjadi "Hakim" atas sesamanya. Sayangnya dalam manisfestasi yang salah pula, ibarat malaikat berkedok setan atau setan berkedok malaikat. Saya tidak tahu manakah yang benar?...Huuff....:(


Siapakah manusia sehingga layak menghakimi sesamanya...???

Definisi "Menghakimi" : Mengadili atau berlaku sebagai  Hakim

Bahkan tidak sedikit praktek-praktek menghakimi terjadi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dalam berbagai rona kehidupan,seperti yang pernah saya lihat saat seorang pencuri kepergok dan dihakimi massa sampi tewas ditempat kejadian. Sebuah pemandangan yang memilukan. Wajah orang itu nampak penuh luka, bengkak-bengkak, dan guratan darah di sana-sini. Saya tak tega berlama-lama memandang wajah orang ini. Sebuah pengalaman baru malam itu yang cukup lama membuat saya tercenung malam harinya. Beribu pertanyaan mengapa, memenuhi kepala saya.Mencuri, dari sisi pertimbangan manapun tetaplah sebuah perbuatan yang salah. Tapi sampai dimanakah hak kita selaku sesama manusia untuk kemudian bebas menghakimi sang pencuri?

Dalam keseharian kita, sebenarnya esensi kegiatan mencuri itu rentangnya begitu lebar. Dari yang sederhana ‘sekedar' mencuri waktu, mencuri kesempatan, mencuri hak-hak orang lain. Sampai sesuatu yang besar, mencuri barang orang lain, korupsi, dan sebagainya. Dan dari sisi manapun, mencuri tetap tidak bisa dibenarkan. Yang menjadi sesuatu yang perlu kita renungkan kemudian adalah, apa yang boleh kita lakukan dengan para pencuri? Dalam kasus di kampung sebelah saya seperti cerita saya di atas, tentunya seharusnya konsekuensi apa bagi pencuri sudah menjadi wilayah para penegak hukum. Tapi prakteknya, seperti juga yang masih banyak terjadi di tempat lain, adalah praktek menghakimi sendiri.



Kita boleh menyayangkan praktek main hakim sendiri itu, tapi bila kita coba mau berkaca, dan jujur pada diri sendiri, bahwa sepertinya kita semua tidak pernah bersih dari keinginan untuk cenderung selalu menghakimi apa yang dilakukan orang lain. 


Kita lihat di media kita setiap hari. Hampir selalu diisi oleh komentar-komentar yang cenderung untuk selalu menghakimi suatu kejadian atau apa yang telah dilakukan orang lain.
Misalnya ada indikasi tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh seseorang. Belum juga proses hukum terjadi terhadap sang pelaku, ramai-ramai orang sudah mengacungkan telunjuk ke wajah sang terdakwa, menilai, menghakimi. Yang saya pikir sama menyedihkannya dengan apa yang telah dilakukan orang-orang di kampung kompleks saya tinggal, dengan menghakimi pencuri yang ketangkap basah itu.


Kalaupun kemudian pengadilan sudah memutuskan seseorang bersalah, saya sampai saat ini tetap berpendapat bahwa yang patut kita benci dan jauhi adalah perbuatan yang dilakukan orang yang bersalah tadi, bukan terhadap orangnya.


Ketika seseorang melakukan sebuah kesalahan, tentunya tidak serta merta bahwa kesalahan itu murni seratus persen murni atas kontribusinya. Saya masih ingat kata-kata bijak Kahlil Gibran yang begitu dalam, bahwa :
‘si terbunuh tidaklah terbebas dari kesalahan si pembunuh, si tercuri bisa jadi berkontribusi atas apa yang dilakukan sang pencuri'. Sebuah kalimat yang sarat makna, yang diujung pengertiannya, saya bisa terjemahkan bahwa bagaimanapun juga tidak seharusnya kita menghakimi seseorang.


Kita boleh saja menilai orang lain dalam rangka belajar atas apa yang orang lain tersebut lakukan -mengambil inspirasi bila itu baik, dan menjauhi bila itu keliru-, tapi tidak seharusnya penilaian itu berkembang menjadi sebuah sikap menghakimi. Bahwa si A pasti salah, bahwa si B pastilah yang menjadi dalangnya.


Kita harus menghakimi orang-orang lain dengan standar keadilan Allah. 
Ada dalam Alkitab:
"IA tidak akan menghakimi dengan sekilas pandang saja atau menjatuhkan keputusan menurut kata orang. Tetapi IA akan menghakimi orang-orang lemah dengan keadilan, dan akan menjatuhkan keputusan terhadap orang-orang yang tertindas di negeri dengan kejujuran".(Yesaya 11:3-5).

Ukuran penghakiman kita terhadap orang-orang lain akan diukurkan kepada kita.
Ada dalam Alkitab:
"Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu."(Matius 7:1-2).

Penghakiman itu tepat apabila menghadapi dosa,oleh seorang pemimpin agama
Ada dalam Alkitab:
"Sebab dengan wewenang apakah aku menghakimi mereka, yang berada di luar jemaat? Bukankah kamu hanya menghakimi mereka yang berada di dalam jemaat , yaitu mereka yang berdosa dengan cara ini (1 Korintus 5:12-TLB).


Sebagai orang percaya kita tidak boleh saling menghakimi, karena penghakiman itu adalah "wewenang Allah". Jadi seorang yang suka menghakimi tanda bahwa ia belum dewasa. 


Jangan menghakimi karena kita sendiri belum sempurna, dan penghakiman itu akan menghambat kita jadi saksi Kristus. Tidak boleh menghakimi karena kita sendiri akan berhadapan dengan tahta pengadilan Allah, setiap ukuran yang kita pakai untuk mengukur itu jugalah yang dipakai Allah untuk mengukur kita.


Kita boleh saja "menilai" bahwa orang lain salah atas dasar kebenaran yang saat ini kita pegang. Tapi akan sungguh naif kalau kita sampai "menghakimi" orang lain, karena hal itu pastilah didasari pada paradigma yang menganggap bahwa diri kita yang paling benar...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar