Apakah berbohong demi kebaikan itu baik? "
Sekali Anda mengucapkan dusta putih, Anda mengucapkan dusta putih kepada diri sendiri pula, dan itu menjadi abu-abu. Ketika Anda mulai mengelabui diri sendiri, maka Anda akan mulai masuk ke dalam masalah besar.
Di situlah letak lereng terjal dan licin dari penalaran ini, sebab akan mudah sekali, dan sebentar saja, berkembang menjadi, "Jika saya memberitahu istri saya, saya akan mati. Jika saya bilang ke orang lain, saya akan malu. Jika saya memberitahu masyarakat, saya akan kehilangan pekerjaan dan jabatan politik saya. Saya melakukannya benar-benar demi kebaikan negara saya." Bisakah Anda melihat lereng licin itu? Ketika mengalami pembenaran di satu tempat, dengan segera hal itu dibenarkan pula di tempat lain.
Begitu pula dengan istilah dusta putih (white lie). Di situlah tempat keangkuhan kita berada, ketika kita mulai mengatakan bahwa boleh mengucapkan dusta asal demi kebaikan.
Betapa pun, itu tetap saja dusta dari awalnya.
Banyak orang ingin melakukan sesuatu yang jujur dalam kehidupannya, tetapi tidak tahu sejujurnya apa yang bisa dilakukannya.
Tetapi ada dusta yang hitam yang sering dilakukan oleh orang yang gemar berdusta. Tetapi ada saat dimana orang-orang jujur harus berdusta, dan itu yang kita sebut Dusta Putih.
Tidak berarti tidak luka hatinya dalam dusta, karena semua dusta itu melukai. Yang jujur ketika harus berdusta, pasti terlukai hatinya, dan bisa melukai orang yang didustai serta orang yang melihat kita berdusta.
Beratnya untuk bohong itu hanya terasa bagi orang yang berupaya jujur. Kalau orang yang tidak jujur, sangat mudah berbohong. Kejujuran adalah sebuah kesaktian, yang tidak akan menetap lama di pribadi yang tidak kuat.
Sama halnya dengan kejujuran, untuk percaya bahwa kejujuran itu hal yang baik dan membaikkan, tidak semua orang, bahkan pada orang yang sudah mengumumkan dirinya beriman, tetap jujur.
Bukan mereka tidak mau jujur, tetapi karena mereka tidak tahu, bahwa itu tidak boleh dilakukannya. Jadi kejujuran itu adalah ilmu yang tidak bisa menetap pada pribadi yang tidak kuat.
Kesaktian kita adalah kejujuran, karena disamping memberikan kekuatan, kejujuran itu sendiri adalah kemampuan menyelesaikan segala sesuatu.
Orang yang jujur, bahkan menyelesaikan masalah yang belum terjadi.
Orang yang jujur menerima pendapatan, melaksanakan tugasnya tidak akan menemui masalah dengan fitnah mengenai uang dan jabatan.
Hanya orang yang tidak lurus yang akan kena fitnah dan masalah itu. Itu sebabnya kejujuran itu adalah kesaktian, kejujuran itu juga kemampuan.
Kejujuran itu, kalau dilihat oleh yang tidak jujur, itu sesuatu yang menyakitkan. Tetapi kejujuran itu hanya akan menyakitkan orang yang tidak jujur. Yang jujur malah ingin kita jujur kepadanya.
Orang jujur itu tidak diajarkan untuk kasar, untuk tidak sopan, dan merendahkan orang lain.Karena orang tidak baik itu maka orang baik yang tersiksa.
Jadi orang tidak jujur adalah orang yang sedang minta tolong.
“Bantu aku, untuk lebih kuat dari kecenderungan ku untuk berlaku tidak jujur”.
“Karena aku orang baik yang tersiksa, oleh pemuka agama yang palsu,oleh pejabat yang korup, oleh orang tua yang juga palsu, oleh adik-adik yang meghianatiku”.
Kalau anda berada dalam sebuah sungai, jangan berusaha mengubah arus, karena lingkungan anda lebih kuat dari anda. Ikutilah arusnya, pelajari kenapa orang berlaku tidak jujur atau terpaksa tidak jujur. Mudah-mudahan tidak jauh dalam perjalanan anda hanyut, anda menjadi pribadi yang kakinya kokoh masuk kedalam dasar sungai.
Setelah itu anda bisa mencegahnya dengan tegas.
Kita yang jujur dan sakit hati karena lingkungan kita tidak jujur, karena tidak cukup kuat untuk mengharuskan kepada yang benar. Tumbuhlah, lalu setelah kuat, haruskan.
Jadikanlah kejujuran itu indah dan cantik.
Kejujuran adalah sebuah kesaktian yang modern, sehingga orang-orang yang jujur hidupnya lebih mudah berhasil.
Ada banyak orang tua tidak mendidikan disiplin ke anaknya, berapa banyak orang tua yang kalau bicara tidak baik didengar anaknya. Dari kecil anaknya dilatih untuk tidak menghormati kata-katanya, sudah dilarangpun masih dilakukan. Lalu kalau mau menurut anaknya harus dibohongi terbih dahulu.
Perlu diingat orang itu tidak bisa berbohong lama, sehingga anaknya belajar untuk tidak menurut dan tidak mempercayai kata-kata orang tuanya.
Membesarkan anak seperti apakah kita, kalau kata-kata kita tidak didengarkan dan yang didengarkan adalah bohongnya.
Kejujuran itu spontan, hanya kebohongan yang disiapkan.
Jadi mengulangi dusta apapun putihnya, adalah latihan untuk menjadi orang berbohong.
Jika seseorang sadar sudah melakukan dusta berkelanjutan sekalipun itu putih, jalan terbaiknya adalah berhenti. Orang yang sudah masuk lubang, harus berhenti menggali.
Jika anda mempunyai seorang teman yang tidak jujur, termasuk dalam berorganisasi, tinggalkan-lah atau pecat. Tidak boleh ada satu orangpun di organisasi anda yang tidak mewakili kesetiaan anda kepada yang benar.
Tidak harus ketidak jujuran itu kuat, tetapi dari semua hal yang membuat kita kecanduan, kebohongan adalah yang paling kuat.
Orang yang mulai berbohong, mengahruskan dia berbohong lagi untuk menutupi kebohongan pertama supaya kelihatan jujur. Bisa dibayangkan kalau kebohongan itu dilakukan bertahun-tahun, maka orang akan kebingungan membedakan mana yang jujur dan mana yang tidak.
Orang yang jujur hidupnya lebih mudah, karena tidak harus mengingat-ingat apa yang telah dikatakan dan dilakukannya, karena yang dikatakannya asli.
Kebohongan itu mencandui seseorang, sampai dia akan berupaya bohong kepada Tuhan.
Sebetulnya banyak dari kita sedang berupaya mengurangi kebohongan, dan mulai menemukan kenikmatan didalam kejujuran.
Setialah pada yang jujur, yang baru walaupun sulit!
Lalu perhatikan setelah itu kehidupan kita membaik....Amen!
Banyak orang berpendapat, bahwa "dusta" itu - seperti halnya sate atau soto - ada banyak jenisnya, meski satu saja esensinya. Esensi atau intinya, saya yakin, kita semua pasti tahu. Berdusta adalah mengutarakan sesuatu, yang diketahui tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
TAPI "dusta", memang benar, ada bermacam-macam bentuknya. Bisa dilakukan dengan cara mengatakan hal yang tidak benar. Sebaliknya bisa terjadi dalam bentuk bungkam seribu bahasa, sengaja tak mau mengungkapkan kebenaran. Tapi dapat pula dengan menyampaikan hanya "setengah" kebenaran.
Berbeda-beda. Walaupun dalam satu hal ini, semuanya sama. Yaitu bahwa setiap "dusta" selalu dilakukan dengan sadar dan sengaja.
KATA "iblis" berasal dari sebuah kata dalam bahasa Yunani, "diabolos". Dan makna asli dari "diabolos", adalah "pemfitnah". "Tukang fitnah" atau "juru fitnah"! Itulah memang keahlian, kekhasan, dan senjata Iblis yang paling menonjol, dan yang paling banyak menimbulkan korban.
Apa "fitnah" itu, kita tahu. "Fitnah" adalah "dusta" dalam kadar yang paling tinggi. Kalau diibaratkan emas, ia emas murni. 24 karat. Kalau teknologi, ia "top"nya. Mengapa? Karena dalam "fitnah" semua unsur kejahatan dari "dusta" lengkap terwakili.
Di situ ada unsur kesengajaan mengatakan sesuatu yang tidak benar. Di situ ada maksud dan tujuan yang destruktif; niat untuk menghancurkan. Dan di situ ada bentuk penipuan yang sedemikian pintarnya, membuat korban sama sekali tidak menyadari bahwa sebenarnyalah ia sedang didustai atau diperdayai.
Anda ingat bagaimana ibu Hawa - mewakili segenap keturunan manusia - ketika terjerat ke dalam perangkap Iblis? Ini terjadi sama sekali bukan karena ia kurang pengetahuan tentang apa yang dikehendaki Allah. Mengenai ini, o, lebih dari kebanyakan kita, ibu kita ini hafal di luar kepala.
Kejatuhannya juga tidak disebabkan karena ia berhati jahat atau kurang gigih dalam berusaha untuk taat. Sama sekali tidak! Hawa telah berusaha sekuat tenaga untuk melawan bujukan Iblis. Tapi mengapa akhirnya Hawa toh jatuh juga? Pertanyaan yang tepat! Jawabnya adalah, karena ia termakan oleh fitnah Iblis. "Sekali-kali kamu tidak akan mati. Tetapi Allah mengatahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat" (Kejadian 3:4-5).
Iblis tidak sepenuhnya memutar-balikkan kenyataan. Yang ia lakukan adalah memutar-balikkan cara pandang orang. Tapi justru inilah, bentuk "fitnah" dengan kualitas nomor satu! Yaitu ketika Iblis, melalui manuvernya itu, dengan cerdiknya memutar-balikkan cara pandang manusia terhadap Allah.
Semula dengan tanpa protes, manusia menaati larangan Allah, sebab yakin bahwa setiap kehendak Allah pasti benar dan baik. Kini, oleh Iblis, sudut pandang ini mulai digoyang. Citra Allah sebagai bapa yang "maha baik" mulai digugat. Sebuah sudut pandang baru mulai disuntikkan pelan-pelan ke pembuluh darah.
Yaitu gambaran Allah sebagai yang semena-mena mau memonopoli kekuasaan; Allah yang tidak mau disamai, sebab ingin terus memperlakukan manusia sebagai obyek semata.
Toh bagi Iblis, ini hanya "sasaran antara" belaka. Tujuan yang lebih jauh adalah, begitu kebaikan Allah diragukan, maka roh pemberontakan pun mulai membara. Allah akan dipandang sebagai penindas, sedang Iblis justru dirangkul sebagai pembebas.
Demikianlah sebuah contoh lagi, betapa dosa "dusta" tidak hanya terjadi ketika orang mengatakan sesuatu yang tidak benar. "Dusta" terjadi, setiap kali maksud jahat disajikan, walau dalam bungkus kain sutera "setengah kebenaran" sekalipun.
"DUSTA" adalah salah satu contoh, di mana "dosa" tidak terletak pada tindakan itu sendiri, melainkan lebih banyak ditentukan oleh "motivasi" dan "akibat" dari tindakan yang bersangkutan.
Anda ingat bagaimana ibu Hawa - mewakili segenap keturunan manusia - ketika terjerat ke dalam perangkap Iblis? Ini terjadi sama sekali bukan karena ia kurang pengetahuan tentang apa yang dikehendaki Allah. Mengenai ini, o, lebih dari kebanyakan kita, ibu kita ini hafal di luar kepala.
Kejatuhannya juga tidak disebabkan karena ia berhati jahat atau kurang gigih dalam berusaha untuk taat. Sama sekali tidak! Hawa telah berusaha sekuat tenaga untuk melawan bujukan Iblis. Tapi mengapa akhirnya Hawa toh jatuh juga? Pertanyaan yang tepat! Jawabnya adalah, karena ia termakan oleh fitnah Iblis. "Sekali-kali kamu tidak akan mati. Tetapi Allah mengatahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat" (Kejadian 3:4-5).
Iblis tidak sepenuhnya memutar-balikkan kenyataan. Yang ia lakukan adalah memutar-balikkan cara pandang orang. Tapi justru inilah, bentuk "fitnah" dengan kualitas nomor satu! Yaitu ketika Iblis, melalui manuvernya itu, dengan cerdiknya memutar-balikkan cara pandang manusia terhadap Allah.
Semula dengan tanpa protes, manusia menaati larangan Allah, sebab yakin bahwa setiap kehendak Allah pasti benar dan baik. Kini, oleh Iblis, sudut pandang ini mulai digoyang. Citra Allah sebagai bapa yang "maha baik" mulai digugat. Sebuah sudut pandang baru mulai disuntikkan pelan-pelan ke pembuluh darah.
Yaitu gambaran Allah sebagai yang semena-mena mau memonopoli kekuasaan; Allah yang tidak mau disamai, sebab ingin terus memperlakukan manusia sebagai obyek semata.
Toh bagi Iblis, ini hanya "sasaran antara" belaka. Tujuan yang lebih jauh adalah, begitu kebaikan Allah diragukan, maka roh pemberontakan pun mulai membara. Allah akan dipandang sebagai penindas, sedang Iblis justru dirangkul sebagai pembebas.
Demikianlah sebuah contoh lagi, betapa dosa "dusta" tidak hanya terjadi ketika orang mengatakan sesuatu yang tidak benar. "Dusta" terjadi, setiap kali maksud jahat disajikan, walau dalam bungkus kain sutera "setengah kebenaran" sekalipun.
"DUSTA" adalah salah satu contoh, di mana "dosa" tidak terletak pada tindakan itu sendiri, melainkan lebih banyak ditentukan oleh "motivasi" dan "akibat" dari tindakan yang bersangkutan.
Mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya, tidak serta merta membuat sebuah tindakan pantas disebut sebagai "dosa dusta".
Tapi benarkah pembedaan itu? Saya persilakan Anda yang menjawabnya. Saya hanya ingin mengatakan, bahwa sejak manusia jatuh ke dalam dosa, maka manusia tak dapat lagi "telanjang" di hadapan yang lain. Manusia tak dapat lagi terbuka sepenuhnya di hadapan yang lain. Selalu saja ada ketelanjangan yang perlu ditutupi.
Karena itu, terlepas dari soal benar-salahnya, "dusta" lebih merupakan sesuatu yang tak terhindarkan. Sebab itu, yang kemudian lebih menentukan adalah "motivasi" dan "konsekuensinya"; bukan "boleh-tidak"nya.
Namun demikian secara umum kejujuran tetap merupakan kebijakan yang terbaik.
Tapi benarkah pembedaan itu? Saya persilakan Anda yang menjawabnya. Saya hanya ingin mengatakan, bahwa sejak manusia jatuh ke dalam dosa, maka manusia tak dapat lagi "telanjang" di hadapan yang lain. Manusia tak dapat lagi terbuka sepenuhnya di hadapan yang lain. Selalu saja ada ketelanjangan yang perlu ditutupi.
Karena itu, terlepas dari soal benar-salahnya, "dusta" lebih merupakan sesuatu yang tak terhindarkan. Sebab itu, yang kemudian lebih menentukan adalah "motivasi" dan "konsekuensinya"; bukan "boleh-tidak"nya.
Namun demikian secara umum kejujuran tetap merupakan kebijakan yang terbaik.
Honesty is still the best policy. Bahwa kemudian, setelah diupayakan sepenuh tenaga, situasi menuntut yang lain, ini adalah soal lain.
hukum KESEMBILAN
Imamat 19 :11 “Janganlah kamu mencuri, janganlah kamu berbohong dan janganlah kamu berdusta seorang kepada sesamanya”.
Keluaran 23 :1-2 ‘Janganlah engkau menyebarkan kabar bohong; janganlah engkau membantu orang yang bersalah dengan menjadi saksi yang tidak benar. Janganlah engkau turut-turut kebanyakan orang melakukan kejahatan, dan dalam memberikan kesaksian mengenai sesuatu perkara janganlah engkau turut-turut kebanyakan orang membelokkan hukum”.
Jujur tidak berarti bahwa kita harus membuka semua rahasia!
Kita boleh merahasiakan, tetapi tidak boleh berdusta....!!!
Sangat bermanfaat
BalasHapus