Moral dan karakter anak terbentuk dari berbagai macam pola. Diantaranya adalah lingkungan disekitarnya. Berikut beberapa hal yang memperngaruhi pola, karakter dan perilaku moral anak dari tiga lingkungan utama; lingkungan rumah, lingkungan sekolah, dan lingkungan teman sebaya.
Lingkungan rumah
Perkembangan moral anak akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana lingkungan keluarganya. Karenanya, keharmonisan keluarga menjadi sesuatu hal mutlak untuk diwujudkan
Para pengelolah dan praktisi pendidikan di negeri ini selalu saja memahami persoalan pendidikan ini dengan kacamata konservatif sehingga tanpa sadar pendidikan formal berubah menjadi ruang status quo. Lalu posisi keluarga itu sendiri dimana, bagi anak jalanan, keluarga mereka tentu tidak bisa mendidik sepertihalnya keluarga mapan yang bisa mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Namun ternyata tidak sekedar selesai sampai disitu saja,harus ada disiplin-disiplin ilmu yang diajarkan kepada anak-anak kita,supaya ia cakap dan piawai dalam menguasai segala keadaan.Ada satu ilmu yang sangat dibutuhkan dalam hidup insan manusia, bahkan lebih penting dari semua ilmu pengetahuan yang sudah kita miliki, yaitu:
"ILMU MENDENGARKAN"
Mungkin beberapa diantara teman-teman merasa judul di atas lucu, untuk apa kita belajar mendengarkan? Bukankah semua manusia sudah dilengkapi kemampuan penginderaan dasar untuk mendengarkan? Tidakkah lebih penting belajar bagaimana bicara dengan baik dan benar, belajar bagaimana menyampaikan pendapat kita dan bicara di depan umum, belajar untuk berbicara dengan baik terhadap orang-orang di sekitar kita dalam rangka menunjang kesuksesan kita? Hemm, saya rasa memang seringkali mendengarkan menjadi sesuatu yang terjadi begitu saja, sesuatu yang terabaikan, sesuatu yang tidak perlu dipelajari karena kebanyakan orang menganggap mendengarkan merupakan suatu kegiatan yang sifatnya pasif. Sesuatu yang seringkali istilah bahasa asingnya, taken for granted.
Seringkali kita lupa bahwa agar berhasil menciptakan suatu hubungan sosial yang berhasil, langkah awal yang bisa kita lakukan adalah mendengarkan. Bagi saya, menjadi pendengar yang baik merupakan hal yang tidak mudah. Dalam mendengarkan pun ada beberapa hal kecil yang bagi saya penting untuk kita perhatikan. Salah satu hal penting yang perlu kita pertimbangkan adalah menyangkut apa yang hendak kita dengarkan? Coba kita lihat, dalam kehidupan sehari-hari, kita tentu sering dihadapkan pada begitu banyak stimulus yang menuntut kita untuk memilih yang mana yang akan kita dengarkan, simak, lalu cerna. Pertanyaan mengenai apa yang hendak kita dengarkan ini tentu berkaitan erat dengan tujuan kita dalam mendengarkan sesuatu. Apakah kita mendengarkan hanya untuk sekedar ingin tahu, apakah kita mendengarkan untuk kemudian memahami?
Saat kita mendengarkan dengan tujuan untuk memahami apa yang disampaikan orang kepada kita, akan ada begitu banyak variabel yang harus kita pertimbangkan. Di sini, kemampuan mendengar aktif sangat kita perlukan. Mendengar aktif berarti berusaha mendengarkan sambil menempatkan diri di posisi orang yang menyampaikan informasi.
Hal ini cukup sulit, berhubung individu-individu terlahir dengan begitu banyak keunikan, latar belakang, dan kemudian nilai-nilai yang berbeda, rasanya sangat sulit untuk betul-betul menempatkan diri di posisi orang lain. Tanpa kita sadari, yang kita lakukan adalah memilah-milah informasi mana yang kita dapatkan dari sumber yang paling sesuai dengan nilai-nilai yang kita pegang, atau yang paling serupa dan dekat dengan latar belakang kita masing-masing. Kita memilih mana yang mau kita dengar, mana yang mau kita buang. Kita tidak betul-betul mendengar dan menyimak apa yang disampaikan oleh orang yang sedang bicara dengan kita. Kita tidak berusaha untuk mengerti lebih jauh apa yang melandasi hal-hal yang disampaikan oleh teman bicara kita, sehingga ia sampai merasa harus menyampaikannya kepada kita. Respon seperti apa yang ia butuhkan, dukungan seperti apa yang ia cari, saran seperti apa yang ia minta.
Hal yang seringkali terjadi, setidak-tidaknya pada saya adalah, saya mendengarkan apa yang disampaikan oleh teman cerita saya sebagai penggalan-penggalan informasi yang sudah saya sesuaikan dengan skema-skema yang sebelumnya sudah terpatri di benak saya. Belum lagi jika saya sudah memiliki stigma dan stereotipe tertentu mengenai hal yang disampaikan, maupun mengenai narasumber itu sendiri. Lalu kemudian saya kemukakan pendapat dan respon saya berdasarkan penggalan-penggalan informasi yang saya (kira) sudah pahami tersebut. Sebetulnya hal ini sangat lumrah, karena manusia memang terlahir dengan mekanisme penyederhanaan ide-ide yang ditangkap lalu mengkategorisasikannya sesuai dengan skema-skema yang sudah dimiliki sebelumnya.
Seolah informasi-informasi yang masuk sudah memiliki tempat dalam box-box tertentu yang saling berbatasan di dalam otak kita. Ini memang cara kerja kognisi manusia, karena kalau tidak demikian, dunia akan terlihat semrawut. Namun, sepertinya kita jadi sangat malas dan menyerahkan semuanya pada mekanisme ini tanpa mau berusaha lebih. Setidaknya yang saya alami, karena saya hanya memasukkan informasi (baca : curhatan) teman saya sepotong-sepotong sesuai dengan mana yang paling sesuai dengan nilai-nilai yang saya yakini, saya jadi tidak tahu sebetulnya apa yang benar-benar ia sampaikan pada saya.
Sepertinya lebih sering saya mendengarkan demi kepentingan saya sendiri dibandingkan kepentingan teman bicara saya. Seringkali saya terpancing untuk menanggapi cerita teman saya dengan apa yang menurut saya baik, bukan apa yang baik untuk dia. Seolah-olah saya yang paling tahu segalanya.
Saya tidak tahu bagaimana dengan teman-teman yang lain yang membaca tulisan ini, tapi saya akhir-akhir ini merasa sulit sekali dalam betul-betul mendengarkan apa yang orang coba sampaikan pada saya. Oleh karena itulah saya ingin belajar untuk mendengarkan, jauh lebih ingin daripada saya ingin belajar untuk berbicara, karena saya tahu itu adalah hal yang paling saya butuhkan sebagai seorang calon psikolog, secara khusus, juga sebagai teman yang baik, secara umum.
Dalam psikologi sendiri, ada suatu ungkapan :
‘seringkali, mendengar adalah lebih pada soal apa yang tidak terucapkan
Belajarlah untuk "Mendengarkan"
The Power of Words, pernah mendengar ungkapan tersebut?
Disadari atau tidak, tiap kata yang kita ucapkan memiliki kekuatan yang sering kali tidak kita sadari. Tiap kata bukan hanya sekedar kata, namun punya makna, bahkan tidak hanya bermakna, kata yang sama diucapkan dengan nada yang berbeda maka akan menghasilkan persepsi yang berbeda, kekuatan yang berbeda. Tentunya kekuatan yang dihasilkan bukan hanya kekuatan yang membangun, namun juga kekuatan untuk menghancurkan seseorang. Luar bisa bukan?
Sayangnya, dalam keseharian kita, memperhatikan kata-kata dalam tutur bahasa kita sangat jarang dilakukan. Kata demi kata keluar begitu cepat dari lidah tak bertulang ini tanpa direnungkan dan dipikirkan dampaknya bagi sesama. Dari perkataan yang sifatnya serius hingga yang bernada gurauan, sering kali meluncur begitu saja seakan tanpa saringan. Apalagi geliat kehidupan masyarakat perkotaan yang semakin agresif setiap harinya. Satu kata diucapkan oleh seseorang, 10 kata dilontarkan sebagai balasan oleh orang yang lain. Semakin agrsif manusia semakin banyak kata yang dilontarkannya, semakin banyak pula kata yang tak tersaring.
Berapa banyak dalam sehari kita mengeluarkan kata-kata? Penelitian menunjukkan bahwa seorang manusia normal mengeluarkan kurang lebih 135.000 kata, mungkin bila seorang pengkotbah atau pembicara akan bertambah sekitar 15.000 kata. Berapa banyak dari kurang lebih150.000 kata perharinya yang kita ucapkan untuk membangun? Dan berapa banyak yang kita gunakan untuk melukai, membunuh sukacita dan damai, menimbulkan akar pahit dan dendam?
Lalu, pertanyaan berikutnya adalah;
Berapa banyak kata-kata yang kita sampaikan kepada Allah setiap harinya?
Kata-kata seperti apa yang kita gunakan untuk berbincang dengan Allah? kata-kata yang memujaNya dengan tulus? Atau kata pujian hanya untuk menjilat Allah? (Untungnya, Allah tidak dapat dijilat, Ia memberi segala sesautu menurut kerelaan hatinya, berdasarkan kebutuhan manusia dan bukan keinginan manusia.) Atau adakah dari kita yang menggunakan kata-kata untuk memerintah Allah, seakan-akan Allah adalah Hamba kita dan bukan kitalah hamba Allah? ( Markus 7:6 )
Lalu apa yang harus kita perhatikan dalam rangka berkata-kata?
1. Perhatikan motivasi.
Untuk apa kita mengeluarkan kata-kata yang baik bila motivasi di baliknya jahat adanya. Kata-kata yang dikeluarkan hanya berisi pepesan kosong, puja puji dan rayuan gombal, hanya untuk meraih hati, berharap dapat naik jabatan, dipromosikan. Salomo dalam ( Kidung agung 2: 8-13 ) menceritakan bagaimana kunjungan mempelai laki-laki ke rumah mempelai perempuan, yang sesungguhnya adalah gambaran hubungan Allah dengan manusia. Allah datang kepada manusia untuk membawanya kepada sukacita dan kenyamanan musim semi, dimana bunga-bunga bermekaran, bunyi tekukur menjadi rhema yang membangkitkan semangat, pohon ara berbuah, dan bunga anggur yang mengeluarkan bau semerbak. Itulah gambaran keselamatan yang Allah berikan kepada manusia, menyenangkan, menenangkan, memberikan rasa nyaman dan aman, berkelimpahan dan bebas dari rasa dingin yang menusuk, suasana yang mencekam, yang bahkan dapat membawa manusia kepada maut. Motivasi Allah dalam berfirman dan berkata-kata kepada kita manusia, bukan untuk membawa kita kepada bahaya, namun kepada kenikmatan sorgawi. Ia ingin setiap kita yang mendengar panggilanNya, perkataanNya ikut serta merasakan keselamatan kekal, merasa senang dan tenang, mendapat kekuatan serta penghiburan, dan bukan kesesakkan dan kepahitan. Bagaimana dengan kita? adakah kita memiliki motivasi yang baik untuk setiap kata yang keluar dari bibir kita? Adakah motivasinya untuk menyakiti atau untuk meningkatkan kualitas manusia lain? Adakah kata-kata kita memberi inspirasi dan dampak yang membangun atau menjadi batu sandungan, pedang bemata dua yang sanggup meruntuhkan iman, semangat, dan kasih? Ingatlah yang menajiskan manusia bukan apa yang masuk ke dalam mulut namun apa yang keluar daripadanya (Markus 7:14-15), jangan kita menajiskan diri kita dengan mengatakan hal-hal yang tidak membangun!!
2. Tentunya motivasi yang benar harus pula disampaikan dengan cara yang benar, bukan?
Sama seperti orang tua yang menginginkan anaknya menjadi yang terbaik dan berubah menjadi baik namun disampaikan dengan cara membentak dan memaki, apa faedahnya? Adakah anak kita berubah atau malah menjadi pemberontak yang senantiasa menolak dan membantah setiap apa yang kita katakan. Jadi....carilah cara yang baik, yang bijak, yang penuh hikmat dan berlandaskan kasih Allah. - gunakan kata yang membangun, yang lembut, bukan yang kotor dan penuh kejahatan, yang mempermalukan, yang membuat orang yang mendengarnya sedih, kecewa hingga marah.
3. Belajarlah untuk cepat mendengar dan lambat berkata.
Jangan seperti api disiram oleh bensin, cepat menyambar sulit padam. Banyak orang tidak mau mendengar hanya mau berbicara...akan seperti mobil yang hanya mau dipakai tapi tidak mau diisi bensinnya. Banyak hal yang keluar namun tidak satupun hal yang mengisi dirinya. Manusia perlu mendengar lebih banyak, itulah maksud Allah menciptakan telinga di kiri dan kanan kita. Tapi pada dasarnya manusia menang lebih suka berbicara daripada mendengar, termasuk kepada Allah. Apa yang dilakukan manusia dalam waktu teduhnya? Hampir 100 % responden mengatakan : berdoa, ya hanya berbica mengatakan ucapan syukur, permohonan ini dan itu. Apa bedanya Tuhan dengan operator customer service? Yang sedikit mendengar pujian, banyak mendengar keluahan dan permohonan, namun tidak diberikan kesempatan untuk berbicara selain yang ditanyakan! Belajar mendengar sama dengan belajar untuk sabar dan mendahulukan orang lain daripada diri kita sendiri, tapi bukan hanya pengorbanan saja yang terdapat di dalamnya, dengan belajar untuk banyak mendengar, tanpa kita sadari kita telah diperkaya oleh berbagai macam ilmu, informasi, cara pandang, dan lain sebagainya.... tidak rugi kan untuk belajar mendengar?
Cepatlah tuk Mendengar & Lambatlah tuk Berkata-kata.....!!!
Yakobus 1: 17-27
Kidung Agung 2: 8-13
Mazmur 45: 1-2,6-9
Markus 7: 1-8, 14-15, 21-23
Kata-kata bukanlah sekedar kata-kata biasa, namun dapat menjadi luar biasa bila kita gunakan dengan motivasi yang baik, dilakukan dengan cara yang benar, dengan juga selalu menyempatkan diri untuk mendengar lebih banyak. Lebih dari itu setiap kata yang keluar dari mulut bibir kita memiliki kuasa untuk mengubah manusia menjadi lebih baik, lebih berkualitas, lebih maju, dan terutama lebih mengasihi Tuhan.
Belajar Mendengarkan: Salah Satu Kunci Sukses
Menjadi sukses adalah keinginan setiap orang. Sayang sekali, tidak semua orang bisa meraih sukses seperti yang diidamkannya. Beragam cerita sukses seolah menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk meraih kesuksesan yang sama. Banyak orang mencoba menapaktilasi kesuksesan orang dengan cara yang sama, akan tetapi boleh jadi (bahkan sering) hasilnya akan berbeda. Banyak kunci sukses yang bisa kita petik dari cerita sukses banyak orang-orang besar. Salah satu kunci sukses terpenting adalah belajar mendengarkan. Apa yang penting dari belajar mendengarkan? Tidak semua orang tahu bahwa terkadang kegagalan seseorang adalah karena kemampuan mendengarkan yang buruk. Tentu, yang dimaksud “mendengarkan” di sini tidak berhubungan dengan baik buruknya indera pendengaran seseorang, akan tetapi kemampuan dan kemauan orang untuk “mendengarkan” dengan hati.
Untuk menjadi sukses, kita harus bisa belajar mendengarkan.
Beragam cerita sukses menuturkan bahwa kesuksesan mereka adalah berkah dari kemauan mereka untuk belajar mendengarkan. Seorang siswa yang sukses adalah seorang siswa yang mampu mengaplikasikan ilmu yang dipelajari dari gurunya karena dia mau mendengarkan petuah dari sang guru dengan sebenar-benarnya. Petuah yang disampaikan tidak hanya “lewat’ kuping kanan untuk keluar melalui telinga kiri, tetapi proses pendengarannya membawa petuah tersebut masuk ke hati. Kita mungkin bisa belajar dari kisah sukses banyak orang-orang hebat. Seorang direktur pemasaran akan bisa sukses ketika dia mau belajar mendengarkan masukan dari orang-orang disekitarnya. Kisah sukses sang direktur pemasaran itu justru berawal ketika dia mulai mau mendengarkan masukan dari atasan, dari bawahan, bahkan dari orang yang sebelumnya dia pandang sebagai orang yang sama sekali tidak berkompeten di bidang tersebut. Kemauannya mendengar pendapat banyak orang justru membuat dirinya “kaya”.
Kisah sukses yang lain juga dapat terbaca dari kisah banyak pengusaha. Kesuksesan mereka berawal dari kemauan mereka mendengar banyak nasihat, kritik dan saran yang terkadang terasa sangat menyakitkan, akan tetapi terbukti sangat bagus untuk pengembangan diri mereka. Apapun profesi Anda, jika ingin berkembang, belajarlah untuk mau mendengarkan orang lain. Bahkan, dalam mendukung pengembangan diri, Anda harus juga belajar untuk bisa “mendengarkan” banyak hal di luar saran dan kritik manusia. Anda harus mampu mendengarkan apa “kata” alam tentang usaha Anda. Sebagai contoh, petani harus mampu mendengar dan membaca gejala alam agar mampu bertanam dengan baik. Mereka juga harus bisa mendengar apa “kata” tanaman dan komoditas yang mereka pelihara untuk bisa mendapatkan hasil yang maksimal.
Pengembangan diri identik dengan memasukkan banyak input positif ke dalam diri Anda. Telinga dan hati Anda adalah pintu masuknya. Jika Anda ingin mendapatkan pengembangan diri yang positif, belajarlah untuk mendengarkan banyak hal di luar!
Anda adalah kuncinya.....
Alkitab berkata:
"setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata,”
(Yakobus 1:19). Lambat berkata-kata artinya tidak cepat berbantah dan memprotes apa yang didengar, serta tidak mudah emosi atau panas hati, “sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah.” (Yakobus 1:20).
Kemarahan hanya akan menimbulkan hal-hal yang tidak berkenan kepada Tuhan, jadi jangan terus menggerutu, memaki dan mendendam hamba Tuhan yang menyampaikan firmanNya. Bangsa Israel di zaman nabi Yeremia juga demikian, sehingga Yeremia mengeluh, “Kepada siapakah aku harus berbicara dan bersaksi, supaya mereka mau memperhatikan? Sungguh, telinga mereka tidak bersunat, mereka tidak dapat mendengar! Sungguh, firman TUHAN menjadi cemoohan bagi mereka, mereka tidak menyukainya!” (Yeremia 6:10).
Orang Kristen yang mudah tersinggung atau marah bila tertegur saat mendengar firman Tuhan yang keras berarti masih menyimpan penyakit dalam rohnya. Luka-luka batin itu harus segera diobat, ada pun obatnya ialah kasih karunia Tuhan. Datanglah dengan rendah hati kepada Yesus dan ijinkan Dia membalut luka-luka kita. Jangan turuti emosi, tapi tunduklah pada pimpinan Roh Kudus supaya hati kita dilembutkan.
Siapa mengarahkan telinganya pada teguran, beroleh kehidupan! Amsal 15:31
Nice ArticeL........Terus berkarya...smangat!!!
BalasHapus